I.
SEJARAH ANALISA SWOT
Albert
Humphrey pernah memimpin proyek penelitian Stanford University pada
1960-an 1970-an didasarkan pada 500 PerusahaanAmerika Serikat 'Fortune 500.
Humphrey memimpin proyek penelitian yang akhirnya dikembangkan dengan model
(TAM) yang merupakan konsep manajemen yang memungkinkan kelompok eksekutif
untuk mengelola perubahan. Humprey melakukan riset dengan Konsep Stakeholder
dan Analisis SWOT.
Raja (2004)
mengatakan bahwa sulit untuk melacak asal-usul akronim SWOT. Dia mengutip
Haberberg (2000) menyatakan bahwa sebagai SWOT adalah konsep yang digunakan
oleh para akademisi Harvard pada tahun 1960, dan Turner (2002) menghubungkan
SWOT untuk Igor Ansoff (1987), dari Ansoff Matrix itu ketenaran. Koch (2000)
menganggap kontribusi dari Weihrich (1982), Dealtry (1992) dan Wheelan dan Kelaparan
(1998). Weihrich dianggap sebagai inovator SWOT.
Panagiotou
pada tahun 2003 memperkenalkan kerangka Pengamatan teleskopik strategis yang
dalam kekuatan efek peta, kelemahan, peluang dan ancaman (PENGAMATAN
teleskopik). Jadi, misalnya T = kemajuan teknologi, E = pertimbangan ekonomi, L
= persyaratan hukum dan peraturan, dll Aspek yang paling berguna dari artikel
Panagiotou adalah bahwa tidak hanya dia mengakui kesulitan dalam menemukan
asal-usul SWOT, tetapi ia juga mengelola untuk menggali beberapa alternative,menarik.
Profesor Harvard Business School (HBS) Unit Kebijakan yaitu George Albert Smith Jr dan C Roland Christiensen pada tahun 1950 menggunakan SWOT dalam strategi organisasi dan pemasaran. SWOT kemudian dikembangkan oleh HBS hingga sekarang.
Profesor Harvard Business School (HBS) Unit Kebijakan yaitu George Albert Smith Jr dan C Roland Christiensen pada tahun 1950 menggunakan SWOT dalam strategi organisasi dan pemasaran. SWOT kemudian dikembangkan oleh HBS hingga sekarang.
BlogHipniRohman - Pengertian /
definisi analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats).
Analisa SWOT adalah suatu metode penyusunan strategi perusahaan atau organisasi
yang bersifat satu unit bisnis tunggal. Ruang lingkup bisnis tunggal tersebut
dapat berupa domestik maupun multinasional. SWOT itu sendiri merupakan
singkatan dari Strength (S), Weakness (W), Opportunities (O), dan Threats (T)
yang artinya kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau kendala, dimana yang
secara sistematis dapat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor luar (O
dan T) dan faktor didalam perusahaan (S dan W). Kata-kata tersebut dipakai
dalam usaha penyusunan suatu rencana matang untuk mencapai tujuan baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang.
Berikut saya lampirkan pengertiannya
menurut salah satu pakar SWOT Indonesia, yaitu Fredy Rangkuti. Kurang lebih
seperti ini :
“Analisa SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisa
ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-unsur internal, yaitu
kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-unsur eksternal yaitu peluang dan
ancaman”.
Petunjuk umum yang sering diberikan untuk perumusan adalah :
- Memanfaatkan kesempatan dan
kekuatan (O dan S). Analisis ini diharapkan membuahkan rencana jangka
panjang.
- Atasi atau kurangi ancaman dan
kelemahan (T dan W). Analisa ini lebih condong menghasilkan rencana jangka
pendek, yaitu rencana perbaikan (short-term improvement plan).
Tahap awal proses penetapan strategi
adalah menaksir kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang dimiliki
organisasi. Analisa SWOT memungkinkan organisasi memformulasikan
dan mengimplementasikan strategi utama sebagai tahap lanjut pelaksanaan dan
tujuan organiasasi, dalam analisa SWOT informasi dikumpulkan dan dianalisa.
Hasil analisa dapat menyebabkan dilakukan perubahan pada misi, tujuan,
kebijaksanaan, atau strategi yang sedang berjalan.
Dalam penyusunan suatu rencana yang
baik, perlu diketahui daya dan dana yang dimiliki pada saat akan memulai usaha,
mengetahui segala unsur kekuatan yang dimiliki, maupun segala kelemahan yang
ada. Data yang terkumpul mengenai faktor-faktor internal tersebut merupakan
potensi di dalam melaksanakan usaha yang direncanakan. Dilain pihak perlu
diperhatikan faktor-faktor eksternal yang akan dihadapi yaitu peluang-peluang
atau kesempatan yang ada atau yang diperhatikan akan timbul dan ancaman atau
hambatan yang diperkirakan akan muncul dan mempengaruhi usaha yang dilakaukan.
Dapat disimpulkan bahwa analisis SWOT adalah
perkembangan hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal, yaitu kekuatan
dan kelemahan terhadap unsur-unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman. Didalam
penelitian analisis SWOT kita ingin memproleh hasil berupa
kesimpulan-kesimpulan berdasarkan ke-4 faktor dimuka yang sebelumnya telah
dianalisa :
>> Strategi Kekuatan-Kesempatan (S dan O atau Maxi-maxi)
>> Strategi Kekuatan-Kesempatan (S dan O atau Maxi-maxi)
Strategi yang dihasilkan pada
kombinasi ini adalah memanfaatkan kekuatan atas peluang yang telah
diidentifikasi. Misalnya bila kekuatan perusahaan adalah pada keunggulan
teknologinya, maka keunggulan ini dapat dimanfaatkan untuk mengisi segmen pasar
yang membutuhkan tingkat teknologi dan kualitas yang lebih maju, yang
keberadaanya dan kebutuhannya telah diidentifikasi pada analisis kesempatan.
>> Strategi Kelemahan-Kesempatan (W dan O atau Mini-maxi)
Kesempatan yang dapat diidentifikasi
tidak mungkin dimanfaatkan karena kelemahan perusahaan. Misalnya jaringan
distribusi ke pasar tersebut tidak dipunyai oleh perusahaan. Salah satu
strategi yang dapat ditempuh adalah bekerjasama dengan perusahaan yang
mempunyai kemampuan menggarap pasar tersebut. Pilihan strategi lain adalah
mengatasi kelemahan agar dapat memanfaatkan kesempatan.
>> Strategi Kekuatan-Ancaman (S atau T atau Maxi-min)
Dalam
analisa ancaman ditemukan kebutuhan untuk mengatasinya. Strategi ini mencoba
mencari kekuatan yang dimiliki perusahaan yang dapat mengurangi atau menangkal
ancaman tersebut. Misalnya ancaman perang harga.
>> Strategi Kelemahan-Ancaman (W dan T atau Mini-mini)
Dalam
situasi menghadapi ancaman dan sekaligus kelemahan intern, strategi yang
umumnya dilakukan adalah “keluar” dari situasi yang terjepit tersebut.
Keputusan yang diambil adalah “mencairkan” sumber daya yang terikat pada
situasi yang mengancam tersebut, dan mengalihkannya pada usaha lain yang lebih
cerah. Siasat lainnya adalah mengadakan kerjasama dengan satu perusahaan yang
lebih kuat, dengan harapan ancaman di suatu saat akan hilang. Dengan mengetahui
situasi yang akan dihadapi, anak perusahaan dapat mengambil langkah-langkah
yang perlu dan bertindak dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang terarah dan
mantap, dengan kata lain perusahaan dapat menerapkan strategi yang tepat. (sumber
: e-je.blogspot.com)
Dikutip dari id.wikipedia.org
Analisis SWOT adalah metode
perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats)
dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang
membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).
Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau
proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan
yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisa SWOT dapat diterapkan dengan
cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya,
kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah
bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage)
dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan
(weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang
(opportunities)yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu
menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagimana cara
mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi
nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.
ANALISA SWOT DAN PENERAPANNYA DALAM ORGANISASI
Strengh (kekuatan)
adalah situasi atau kondisi yang merupakan
kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.
Strenght ini bersifat internal dari
organisasi atau sebuah program.
Contoh :
- Jumlah
anggota yang lebih dari cukup (kuantitatif)
- Berpengalaman
dalam beberapa kegiatan (kualitatif)
Weaknesses (Kelemahan)
Adalah kegiatan-kegiatan organisasi yang tidak
berjalan dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan oleh organisasi tetapi
tidak dimiliki oleh organisasi.
Kelemahan itu terkadang lebih mudah dilihat daripada
sebuah kekuatan, namun ada beberapa hal yang menjadikan kelemahan itu tidak
diberikan solusi yang tepat dikarenakan tidak dimaksimalkan kekuatan yang sudah
ada.
Contoh :
- Kurang
terbinanya komunikasi antar anggota
- Jaringan
yang telah terbangun tidak dimaksimalkan oleh seluruh anggota.
Opportunity (kesempatan)
Adalah faktor positif yang muncul dari lingkungan
dan memberikan kesempatan bagi organisasi atau program kita untuk
memanfaatkannya.
Opportunity tidak hanya berupa kebijakan
atau peluang dalam hal mendapatkan modal berupa uang, akan tetapi bisa juga
berupa respon masyarakat atau isu yang sedang diangkat.
Contoh :
- Masyarakat
sedang menyukai tentang hal-hal
yang bersifat reboisasi lingkungan
- Isu
yang sedang diangkat merupakan isu yang sedang menjadi topic utama.
Threat (ancaman)
Adalah factor negative dari lingkungan yang
memberikan hambatan bagi berkembangnya atau berjalannya sebuah organisasi dan
program.
Ancaman ini adalah hal yang terkadang selalu
terlewat dikarenakan banyak yang ingin mencoba untuk kontroversi atau out
of stream (melawan arus) namun pada kenyataannya organisasi tersebut lebih
banyak layu sebelum berkembang.
Contoh :
- Masyarakat
sudah jenuh dengan pilkada
- Isu
agama yang berupa ritual telah membuat masyarakat bosan.
Dalam contoh-contoh tersebut maka kita dapat
melihat apa yang dapat kita lakukan dan kita gunakan, serta apa yang tidak
dapat kita lakukan serta harus kita lengkapi.
Yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan analisis SWOT adalah :
- SWOT
analysis bisa sangat-sangat subjective. Bisa saja terjadi 2 orang
menganalisa 1 perusahaan yg sama menghasilkan SWOT yg berbeda. Dgn
demikian, hasil analisa SWOT hanya boleh digunakan sbg arahan dan bukan
pemecahan masalah.
- Pembuat
analisa harus sangat-sangat realistis dalam menjabarkan kekuatan dan
kelemahan internal. Kelemahan yg disembunyikan atau kekuatan yg tidak
terjabarkan akan membuat arahan strategi menjadi tidak bisa digunakan
- Analisa
harus didasarkan atas kondisi yg sedang terjadi dan bukan situasi yg
seharusnya terjadi
- Hindari
grey areas .
Hindari kerumitan yg tidak perlu dan
analisa yg berlebihan. Buatlah analisa SWOT sesingkat dan sesederhana mungkin
II.
Tantangan dan
peluang bagi Pesantren
Berkat paradigma reformasi, demokratisasi dan keadilan dalam dunia pendidikan serta perjuangan para ulama, tokoh agama, pakar pendidikan Islam dan dukungan umat Islam, akhirnya secara konstitusional dan legal formal,pondok pesantren mendapat pengakuan secara nasional yakni dengan dimasukkannya “pesantren” sebagai bentuk pendidikan keagamaan (UU-RI No.20 tahun 2003, pasal 30 ayat 4).
Dengan dimasukkannya pondok pesantren dalam sistem pendidikan nasional itu, secara legal formal pondok pesantren memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka operasionalisasi program pencerdasan kehidupan bangsa dan peningkatan kualitas SDM melalui proses pendidikan.
Dewasa ini, tantangan pesantren jauh lebih kompleks daripada tatangan-tantangan yang pernah dihadapi pesantren-pesantren di masa lalu. Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui bahwa secara internal,pesantren masih menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang, khususnya sejak pesantren mengalami modernisasi pada tahun tahun 1970an.
Tantangan-tantangan dan masalah-masalah internal pesantren pasca modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan.. Dengan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan dan politik pendidikan sejak tahun 1970an dan peluang-peluang baru seperti diisyaratkan dalam paradigma baru pendidikan nasional, kini pesanren memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselenggarakan, yang setidak-tidaknya kini menyediakan empat pilihan:
Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din, seperti tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantren salafiyah), dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. Di tengah arus modernisasi pesantren belakangan terdapat kecenderungan sejumlah pesantren untuk mempertahankan atau bahkan kembali kepada karakter salafiyahnya.
Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag. Madrasah semula merupakan “pendidikan agama plus umum”, tetapi dengan ekuivalensi seperti digariskan UUSPN 1989 “adalah sekolah umum berciri agama”.
Sekolah Islam yang mengikuti kurikulum Diknas, yang pada dasarnya adalah “pendidikan umum plus agama”.
Pendidikan ketrampilan (vocational training), apakah mengikuti model STM atau MA/SMA ketrampilan. Keempat jenis pilihan ini dapat dilaksanakan dalam satu pesantren tertentu. Keempat pilihan ini secara implisit mengakomodasi hampir keseluruhan harapan masyarakat secara sekaligus kepada pesantren. Harapan pertama dan utama adalah agar pesantren tetap menjalankan peran kursialnya dalam tiga hal pokok: Pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowlge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam ( maintenance of Islamic taradition). Ketiga, reproduksi calon-calon ulama . Harapan kedua adalah agar para santri tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi uga ilmu umum dan, dengan demikian, dapat melakukan mobilitas pendidikan. Dan harapan ketiga, agar para santri memiliki ketrampilan, keahlian atau lifeskills –khususnya dalam bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan cirri masa globalisasi–yang pada gilirannya membuat mereka memiliki dasar-dasar “competitive advantage” dalam lapangan kerja sebagaimana dituntut di alam globalisasi.
Pengembangan “competitive advantage” atau “competitive edge” di dunia pesantren jelas bukanlah hal yang mudah. Pengembangan itu bukan hanya memerlukan penyediaan SDM guru yang kualified, laboratorium/bengkel dan hadware lain, tetapi juga perubahan sikap teologis dan budaya. Bukan rahasia lagi, bahwa paham teologis yang dominan di kalangan pesanten masih cenderung meminggirkan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan sains dan teknologi, karena secara epistimologis dianggap tidak atau kurang syah, karena sains dan teknologi merupakan produk rasio dan pengujian empiris. Leih jauh, budaya sains dan teknologi masih kurang mendapat tempat dalam masyarakat kita umumnya; tingkat melek –apalagi budaya– komputer, bisa diduga, masih sangat rendah dalam mayarakat kita umumnya, terlebih lagi di kalangan pesantren.
Tetapi, sekali lagi, mengambil keseluruhan pilihan pendidikan ini jelas mengandung berbagai kesulitan dan dilemma tertentu bagi pesantren. Kesulitan itu terletak bukan hanya pada keterbatasan kapasitas kelembagaan, teapi juga karena masih lemahnya SDM yang kualified dalam proses pembelajaran, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Karena itu, langkah yang paling realistis adalah mengambil satu atau dua pilihan itu, sementara sedikit banyak berusaha mengakomodasi pilihan-pilihan lainnya.
Kedua, berkaitan dengan masalaha pertama di atas adalah persoalan jati diri pondok pesantren. Pada satu segi, pengakuan atas dan penyetaraan pendidikan yang berlangsung di pesantren telah membuka berbagai peluang bagi penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan di pesantren. Tetapi pengambilan pilihan-pilihan tadi sangat bisa jadi dapat mengorbankan identitas pesantren sebagaimana telah terpatri di dalam masyarakat.
Di sini terjadi pembenturan antara “social expectation” dengan ”academic expectation” yang disinggung di atas. Tidak hanya itu, keterlibatan pesantren dalam program-program non-kependidikan seperti pengembangan pesantren sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi, dan sebagainya juga dapat mengaburkan identitas pesantren.
Lebih jauh, paradigma baru pendidikan nasional juga sangat menekankan kenyataan pesantren sebagai “pendidikan berbasiskan masyarakat” (Community-based education) selama berabad-abad. Pada satu segi, pengakuan ini merupakan perkembangan yang positif, khususnya menyangkut eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri. Tetapi, pada segi lain, pengakuan itu secara implisit menuntut peran lebih besar masyarakat dalam pendidikan pesantren.
Dalam kerangka itu, masyarakat kini dituntut tidak hanya mendirikan bangunan fisik dan perangkat-perangkat pokok pesantren, tetapi lebih-lebih lagi dalam mengembangkannya menjadi pendidikan yang berkualitas untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki keunggulan keompetitif tersebut. Di sini masyarakat pendukung pesantren diharapkan dapat menyediakan berbagai prasarana dan sarana pendukung yang lebih memadai bagi terselenggaranya pendidikan yang mampu mendorong penanaman dasar-dasar keunggulan kompetitif tersebut.
Ketiga, penguatan kelembagaan dan manajemen. Perubahan-perubahan kebijakan pendidika nasional –misalnya yang menekankan pada peran pesantren sebagai “community-based education” dan tantangan-tantangan global mengharuskan pesantren untuk memperkuat dan memberdayakan kelembagaannya. UU Yayasan yang baru juga menghendaki pesantren untuk meninjau dan merumuskan kembali kelembagaan pesantren dan hubungannya dengan para pelaksana kependidikan; madrasah dan atau sekolah. Kelembagaan pesantren haruslah bertitik tolak pada prinsip-prinsip kemandirian (otonom), akuntabilitas dan kredibilitas.
Dalam mewujudkan quality education pesantren seyogianya memberikan ruang gerak lebih besar kepada para pelaksana kependidikan, khususnya kepala madrasah atau kepala sekolah agar: Pertama, dapat mengorganisasi dan memberdayakan sumber daya yang ada untuk memberikan dukungan yang memadai bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang maksimal, bahan pengajaran yang cukup, dan pemeliharaan fasilitas yang baik; kedua, dapat berkomunikasi secara teratur dengan kepemimpinan pesantren (dan/atau yayasan), guru, staf, orangtua, siswa, masyarakat, dan pemerintah setempat. Selanjunya, pesantren sudah saatnya dikelola dengan manajemen moderen sehingga pendidikan yang diselenggarakannya dapat lebih efisien dan efektif. Prinsip-prinsip manajemen modern sudah saatnya diterapkan di pesantren agar dapat menyesuaikan diri di era globalisasi ini.
Tantangan Masa Depan
Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu modern dengan metodologi yang lebih komprehensif. Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu modern yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan modern yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu islam yang menjadi keahlian pesantren.
Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan modern yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal. Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri. Yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme. Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.
Membangun budaya pendidikan integratif pada sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren jelas tidak mudah. Banyak aspek dan sisi yang harus dikuasai dengan baik, terutama yang terkait dengan pola pengembangan kemasyarakatan sebagai betuk aplikasi ilmu dan nilai pembelajaran podok pesantren. Meningkatkan kualitas pemahaman kegamaan di satu sisi diiringi dengan peningkatan apresiasi pada problem sosial di masyarakat jelas membutuhkan keseriusan dan ketekunan tersendiri. Apalagi jika dilihat dari aspek kompleksitas masalah pada masyarakat modern saat ini. Dan jangan lupa membangun sebuah pola pendidikan pesantren semacam ini merupakan sebuah human capital yang berdimensi jangka panjang, tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
Bak menanam buah kelapa, berinvestasi pada pengembangan pendidikan akan membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya para santri memang tidak dididik untuk menjadi para sales ataupum marketer yang mampu mendatangkan keuntungan (profit) dalam waktu yang singkat bagi institusi pendidikan yang mengampunya. Bukan pula menjadi robot berteknologi tinggi yang mampu mengerjakan sekian banyak tugas dalam waktu relatif singkat. Karena bagaimana pun sumber daya manusia pada pendidikan pesantren adalah manusia biasa juga, sehingga dibutuhkan ruang yang cukup lama antara pencapaian intelektual santri yang dididik dan implementasi ilmu di dalam masyarakat secara komprehensif. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka peran aktif dari para santri demi pembangunan pendidikan islam di masa depan akan mudah diimplementasikan dengan hasil yang lebih baik.
Meski pesantren menghadapi berbagai tantangan, seperti dikemukakan di atas, peluang bagi pendidikn pesantren jelas masih tetap besar. Situasi sosiolgis umat Islam Indonesia, yang setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir menemukan “new attachmen” kepada Islam merupakan modal yang sangat berharga bagi pesantren. Fenomena kemunculan “pesantren urban”, “sekolah Islam unggulan” dan sebagainya merefleksikan, bahwa pendidikan pesanren atau yang bermodel pesantren tetap mendapat tempat yang semakin kuat. Kini tinggal bagi pesantren itu sendiri untuk memberdayakan dirinya untuk mampu benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” dalam menghadapi arus perubahan.
Minimal ada tiga tanggung jawab utama yang harus dipikul oleh lembaga pendidikan Islam ,utamanya pesantren. Pertama, menciptakan ahli agama (religious scholars) yang nantinya akan mengawal pertumbuhan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia dan yang dianut oleh seperempat penduduk dunia. Kedua, menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi atau berkompetisi aktif dalam modernisasi dan globalisasi. Ketiga, menghilangkan ketidakpercayaan yang berkembang baik dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim dan masyarakat internasional.
DAFTAR PUSTAKA
2. ANALISA SWOT DAN PENERAPANNYA DALAM ORGANISASI, Artikel dan Opini
3. Alawiyah, Tuti AS, 2006, Pengembangan Kurikulum Pesantren (Menjawab Problem Dikotomi dan Tuntutan Modernisasi),Makalah
4. H.S. Baharuddin, 2006, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Islam, Makalah
5. Mahfudz, Sahal, 2005, Meneguhkan Kembali Peran Sosial Pesantren (Petikan Pengalaman Pengembangan Masyarakat), Makalah.
NAMA: FEBRIAN ABBAS
NIM: 153093025
KLS: PMI A
NAMA MITRA DISKUSI
M. SYAMSUL ARIFIN
NIM: 153093006 PMI A
NAMA : M. SYUKRON
NIM : 153093018 PMI A
Responses
0 Respones to "sejarah analisis SWOT"
Posting Komentar